Oleh : Helvy Tiana Rosa & Farid Muhandisa
baitijannati. “Ibu, saya mau bunuh diri. Tolong saya…..”
Saya terkejut sekali. Pertama, oleh kehadirannya yang mendadak di
depan saya. Lalu oleh pernyataannya itu. Siapa? Apa? Bunuh diri?“Ini sudah percobaan yang entah keberapa kalinya, Bu,” katanya dingin. Ia buka sebagian lengan bajunya. Ia perlihatkan belasan sayatan di pergelangan tanganya.
Saya terperangah.
Gadis di hadapan saya itu terus menunduk sambil memainkan jemarinya sendiri. Tak sedikit pun ia melihat ke arah saya.
“Teman-teman bilang ibu dosen yang sangat baik. Meski ibu belum pernah mengajar saya, saya tahu ibu mau menerima curhat saya….”
Saya pandang ia lekat. Ia membuang muka.
Perlu waktu lebih dari satu jam, untuk membawanya ke tempat lain yang nyaman, di luar ruang dosen, dan membuatnya bercerita. Ia masih menunduk, bahkan ketika saya berulangkali mencari matanya. Duka dan misteri itu seolah melingkupi tubuhnya. Ketika ia bilang ia lelah dan sangat sakit, saya peluk dia. “Kita coba hadapi bersama ya, Nak. Kamu bisa, insya Allah.”
Bukan perkara mudah bicara padanya. Kadang saya tanya apa, ia entah menjawab apa.
Sebut saja ia X. Mahasiswa semester tiga dengan IPK paling kritis yang pernah saya jumpai. Ia jarang masuk kelas, apalagi mengerjakan tugas. Alasannya?
“Saya selalu takut dan tidak nyaman. Terlalu banyak orang dari planet mars di sekitar saya. Hanya ibu yang sama manusia dengan saya. Tidak yang lain. Tidak juga keluarga saya di rumah,” tuturnya.
Dari ceritanya yang bagai puzzle, kemudian saya tahu, ia pernah mengalami penculikan saat usia SD, juga pelecehan seksual dari pamannya sendiri. Sejak dahulu kemana pun ia selalu tanpa teman.
“Hanya Ibu yang pernah memeluk saya. Hanya ibu yang pernah bilang sayang dan peduli pada saya.
Saya rindu sekali dipeluk oleh orangtua saya. Saya rindu mendengar mereka bilang cinta pada saya…. Tapi di rumah kami tak pernah ada yang seperti itu. Bahkan salaman pun hanya hari raya,” tuturnya lain waktu.
“Mengapa tak kamu yang memulai, say?”
Seperti biasa, X hanya memain-mainkan tangannya. “Untuk apa, Ibu? Nanti saya ditertawakan….”
“Ditertawakan untuk sebuah pernyataan cinta? Mengapa tidak?” ujar saya. “Cobalah. Ibu ingin ketika kamu pulang nanti, kamu peluk ayah ibumu. Katakan kamu sangat mencintai mereka…..”
X terdiam.
Pada pertemuan kami berikutnya, dengan binar mata yang belum pernah saya lihat sebelumnya, ia berkata: “Ibu, saya sudah sampaikan. Ayah Ibu saya kaget sekali. Mereka bengong, mereka nangis, mereka peluk saya kuat-kuat, seperti ibu memeluk saya. Saya bahagia….”
Saya tersenyum.
Sebenarnya beberapa kali saya mencoba mempertemukan X dengan pembimbing akademiknya. Apalagi menurut saya X punya masalah yang cukup berat.
“P.A saya sibuk, Bu. Cuek. Katanya saya harusnya bukan cerita ke dia tapi ke psikiater. Memangnya saya gila, Bu?”
“Sayang, setiap orang mempunyai sisi gila sendiri, juga ibu,” kata saya menunjuk diri sendiri.
Dia cemberut sebentar, lalu tersenyum.
“Jadi pergi ke psikiater juga hal yang menarik…,hmmmm tentu si psikiater tersebut punya sisi gila sendirinya pula….”
X tertawa.
Jadilah saya semangati dia untuk pergi ke konseling di universitas kami. Alhamdulillah ia mau datang rutin ke sana. Tetapi untuk masuk ke dalam kelas, ia masih minta ditemani saya atau M satu-satunya temannya, anak Rohis yang dulu ternyata menyarankan X datang pada saya.
“Mengapa belum bisa?”
“Orang-orang mars…tembok…tembok…,” kata X berkali-kali.
Ia juga belum bisa mengerjakan tugas kelompok. Atau maju berbicara ke depan kelas. Saya terus mendorongnya.
“Kamu juga harus merangkul Allah dalam dirimu. Jangan berhenti sholat,” nasihat saya.
Saya berikan ia buku-buku bacaan.
“Ibu, saya tidak suka membaca,” katanya.
“Cobalah, kamu akan suka. Huruf-huruf itu akan memelukmu dan mengajakmu bertualang, jauh dari para mahluk mars,” jawab saya.
Saya pilihkan buku-buku menarik untuknya. Tak lama, saya terkejut ketika ia kemudian keranjingan buku-buku yang menurut teman-temannya “berat”: sastra serius dan filsafat!
Hm.
“Ibu, saya sekarang tak bisa tak membaca. Saya pinjam buku lagi!” katanya.
“Tidakkah kamu ingin menuliskan perasaanmu dalam bentuk buku? Atau apa saja yang kau baca dari semesta?”
“Saya tidak suka, tidak bisa menulis,” ujar Y.
“Hmmmm, menulis salah satu bentuk terapi. Menulis itu membahagiakan….”
“O ya? Saya tidak tahu. Saya merasa tidak ingin dan tidak mampu,” katanya lagi.
Saya ceritakan tentang beberapa teman saya yang akhirnya menemukan jalan, menemukan harta, bahkan bahagia dengan menulis.
“Apa saya bisa, Ibu? Di kepala saya terlalu berjejalan semua….begitu kusut untuk diuraikan dalam bentuk tulisan.”
“Apakah kekusutan dalam benakmu perlu diuraikan, sayang? Mengapa tak kamu coba membingkai saja kekusutan itu dalam tulisanmu. Ibu akan membaca dan memberi banyak masukan….”
Suatu malam ia sms saya lagi: Ibu, saya sayang ibu. saya tidak mau bunuh diri, tapi “perempuan” jahat itu memaksa saya menyilet diri saya lagi dan membenturkan kepala ini ke tembok berkali-kali. Saya ingin berwudhu dan sholat. Dia menghalangi saya ibu. Dia datang lagi…tolong saya ibu….
Saya panik dan coba menghubunginya. Tapi tak jua diangkat. Akhirnya saya sms dia berkali-kali. X benar-benar seperti fiksi bagi saya! Tapi saya tak ingin menyerah, seperti saya tak pernah menyerah untuk menyelesaikan setiap langkah yang saya mulai.
“Maafkan saya, Ibu,” kata X sambil memperlihatkan lebam di tubuh dan kepalanya. “Orangtua saya mendobrak kamar, baru perempuan itu pergi. Ya “perempuan gila” dalam diri saya….”
“Apa perlu ibu bertemu orangtuamu?”
“Jangan. Mereka sedang sulit, Ibu. saya tak mau cerita di kampus menjadi beban bagi mereka,” katanya pelan. “Mereka bahkan tak tahu saya terancam drop out.”
“Kamu masih ke konseling?”
Ia mengangguk. “Orangtua saya memaksa saya ke psikiater…, saya tidak gila, Ibu.”
“Hmmm, ibu orang yang paling kepingin ke psikiater. Apa mereka bisa tahu sisi gila Ibu? Sayang belum pernah ada yang mengajak ibu. Padahal itu sebuah petualangan baru….
Kami tertawa. Kering, seperti hari yang berlintasan.
X akhirnya dibawa orangtuanya ke psikolog tambahan selain tetap konseling di kampus. Ia juga mengikuti terapi akupuntur.
“Sudahkah kamu tulis keresahan dan berbagai keanehan serta mimpi-mimpi itu?” tanya saya setiap kali kami bertemu.
Saya takjub. Ia sodorkan pada saya setumpuk kertas, dengan tulisan tangan miring ke kanan. “Saya menulis karena ibu. Ini, Bu…,apa ibu mau membacanya? Maafkan saya kalau jelek, Ibu….”
Saya peluk dia. “Ibu akan dengan senang hati membacanya!”
Di rumah, baru satu halaman saya baca, saya bergetar. X…ia jenius!
Tulisannya bagus! Ia akan menjadi saingan berat para sastrawan di usianya yang belum kepala dua! Sungguh, ia lebih dari bagus! Subhanallah…mata saya berkaca-kaca…saya sungguh tak menyangka! Ini jauh melebihi harapan saya!
“Tuliskan semua! Tumpahkan semua kalimatmu yang berkilauan itu. Jangan pernah berhenti!” kata saya padanya.
Setiap kali bertemu saya, ia berikan setumpuk kertas, dengan tulisan tangan yang miring ke kanan. “Saya tidak punya mesin tik atau komputer…,” katanya.
“Menulis terus. Yang kau perlukan adalah kertas, pena, wawasan dan jiwamu. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti!” Saya minta sekretaris saya mulai mengetik naskah X. Sebuah penerbitan sudah siap menampung naskahnya. X terbelalak tak percaya….
X masih terus berproses. Tetapi dengan menulis, ia mulai bisa mengendalikan “perempuan” dalam dirinya yang terus mengharapkan ia bunuh diri. “Dalam ceritaku, bahkan kamu tak akan kubiarkan bunuh diri,” katanya pada “perempuan” itu.
Ada haru yang menyergap saya setiap mengingat X. “Dia termasuk anak autis,” kata salah satu psikolog yang menanganinya. “Mungkin schizoprenic,” tutur yang lain. Tapi soal kecerdasan sungguh bisa diadu.”
Kini X sudah sudah berani masuk kelas sendiri. Apalagi ketika saya mencarikannya beberapa teman baru dari kalangan adik kelas yang kini menjadi teman sekelasnya.
“Saya sedih. Orangtua meminta saya berhenti kuliah. Begitu juga ahli jiwa yang menangani saya. Mereka bilang saya tidak akan mampu…,”cerita X suatu saat.
Saya bilang, saya tahu ia cerdas. Saya juga meyakinkannya bahwa kuliah bukan jalan satu-satunya menuju kesuksesan. Apalagi kini ia menemukan jalan baru itu: menulis. Dan tulisannya? Bukan tulisan biasa!
Setiap saat, entah di mana, X masih terus “bertempur” dengan “perempuan”, sosok lain dalam dirinya yang terus menerus menyuruhnya bunuh diri. Dan setiap ada kesempatan ia coba halau bayangan itu dengan menulis. Sering kali ia sms saya, atau kami bertemu secara rutin di suatu tempat. Membahas hidup, juga tulisan-tulisannya. Kini ia bahkan mulai
membahas hidup dan tulisan-tulisan saya. Yaaaa, begitulah teman, bukan?
Mungkin tak lama lagi bukunya akan terbit dan sampai di tangan saya dan Anda. Tapi yang tak akan pernah saya lupakan adalah apa yang ia ucapkan pada saya. Ini seperti harta karun bagi saya
“Saya mencintai Ibu. Terimakasih Ibu telah menjadikan saya, bukan meninggalkan saya….”
Posting Komentar
Silahkan Di Komentari Artikel Ini (BEBAS!!!)